Langsung ke konten utama

Digitalisasi Tahi (pt. 1)

Belakangan ini, Indonesia lagi sering diguncang sama berita-berita tidak enak. Mulai dari pembunuhan yang menyeret perwira, kementerian tidak becus kerja (bukan hal baru), sampai dengan kebocoran data massal. Jujur, hal ini sebenernya bikin saya dan beberapa kawan mulai bikin rencana untuk meninggalkan negara ini. Kenapa? Simple. Kami nggak bisa lihat masa depan kami di sini. Negara ini kebanyakan gimmick, pongah, dan nggak terima kritik. 

Sepertinya sudah jadi rahasia umum ya kalau boomer-boomer pemangku kuasa negara ini obsesi sekali sama DIGITALISASI. Meaning, apa-apa harus bisa diurus online. Harus bisa diurus pakai aplikasi dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja sehingga masyarakat pun lebih mudah mengurus ini-itu. Jujur, ini sebuah visi yang mulia. Siapa sih yang nggak mau ngurus tetekbengek kependudukan dari gawainya masing-masing? Saya mah mau banget!

Sayang, pelaksanaannya tidak seindah itu.

Belum lama ini, saya baru saja menunaikan kewajiban saya sebagai pengemudi; memperpanjang masa berlaku SIM. Bukan urusan pelik 'kan? Tentu bukan. Tapi menjadi pelik ketika saya memiliki waktu luang terbatas dan deadline masa berlakunya pun semakin dekat. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba fitur SIM Online. 

Dan jujur, dari awal install sampai mau isi formulir tes kesehatan, isinya tarik urat.

Jadi begini, saya itu orangnya tidak pernah mau ekspektasi tinggi sama pemerintah. Saya jarang respect sama orang-orang yang bekerja di instansi pemerintahan atau plat merah lain. Buat saya, mereka tak lebih dari sekumpulan orang-orang tidak becus yang makan pajak kita (kalau ada di antara kalian yang baca ini ternyata kompeten, ya udah bagus. Nggak usah tersinggung, this isn't about you, folks). Nah, harusnya dengan ekspektasi serendah ini, nggak seharusnya saya marah ketika aplikasi SIM Online itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi tidak. Saya tetap marah dan emosi. Bayangkan untuk mengurus SIM Online saja, saya harus menginstall aplikasi lain untuk menjalankan tes kesehatan. Oke, saya ikuti. Saya install. Tapi ya, namanya aplikasi anak negara yang sesungguhnya, aplikasi untuk test kesehatan inipun tidak bisa diakses. Ya, sebenarnya membuat aplikasi test kesehatan terpisah untuk SIM saja sudah aneh, but I guess some lads gotta hustle if you know what I mean.

Ujung-ujungnya, saya pun berangkat ke samsat dan mengurus SIM saya secara offline karena saya menyerah dengan kebobrokan sistem online SIM tadi. Lebih cepat, lebih lancar, dan tidak pakai tarik urat (meski lebih mahal karena ya... biasalah). 

Makanya saya bilang negara ini kebanyakan gimmick. Karena sesungguhnya, SDM kita sama sekali belum siap. Para boomer clueless nan tone-deaf itu bisa saja bilang Indonesia mau jadi pusat digital atau anak mudanya bikin aplikasi untuk menyaingi aplikasi lain yang sudah jauh lebih mapan. Ya memang bisa. Tapi harus bertahap dan dimaintain secara seksama. Kalau tidak, ya hanya akan membuang anggaran dan membuat masyarakat marah karena aplikasinya tidak berguna (SEPERTI SEKARANG). Permasalahan saya dengan SIM online ini cuma satu dari beberapa kasus yang saya alami sendiri. Mungkin nanti saya akan nulis lagi kalau ada waktu, tapi intinya buat post ini...


Digitalisasi Tahi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandung; Silaturahmi dan Penggemukan Diri Pt. 2

Nah, menyambung sama entry sebelumnya , saya mau lanjut cerita soal hari kedua saya di Bandung. Oknum-oknumnya masih sama dengan hari pertama, tapi kegiatannya jelas berbeda. Soalnya di hari kedua ini, kami sudah menentukan destinasi yang akan kami tuju dari sejak di Jakarta. Bahkan kami sampai rela bangun pagi-pagi sekali!

flirty tapi bodoh.

Belum lama ini di sisi lain twitter saya ada ramai kasus pelecehan . Kemudian yang jadi korbannya membuka space untuk angkat bicara. Dukungan dan kata-kata penyemangat pun mengalir deras buat gadis berusia 19 tahun ini. Semua pun di-retweet dan di-like satu persatu. Dipikir lagi, kalau boleh saya berpendapat dari yang biasa saya lihat, vibe kasus ini terasa lebih "ringan" dan "optimis" dibandingkan kasus-kasus lain serupa. Tidak ada nay-sayers, tidak ada pihak yang menyalahkan korban. Ngabers dengan penis kecil tidak terlihat sejauh mata memandang. Dystopian banget 'kan?