Langsung ke konten utama

Game.

Semua orang pasti butuh liburan. Nggak pakai pengecualian. Beda saja paling caranya, iya atau iya? Hehehe... 

Buatku definisi liburan itu sesederhana menghabiskan hari melakukan yang sesuatu yang biasanya kuanggap "gangguan" di hari-hari normal. Misalnya nih, scrolling tiktok sampai eneg, chatting non stop sama teman, sama yang paling baru; jalan-jalan di Teyvat alias main Genshin.

Kalau lagi liburan, saya bisa berjam-jam main Genshin. Mulai dari menghabiskan resin, cari drop-dropan monster, sampai dengan masak-masak berbagai makanan dengan harapan bisa unlock specialty dish karakter favorit (DILUC I'M BEGGING YOU GIVE ME THAT DELICIOUS STEAK). Benar-benar nggak peduli waktu. Pokoknya yang bisa menghentikan saya cuma kalau mata sudah mulai lelah atau perut yang minta diisi.

Sebelum terjun ke Genshin, sudah banyak yang saya geluti. I am by no means a gamer. Saya cuma suka gebuk sana gebuk sini lalu kalau bosan ya menarik diri. Selama pandemi ini, saya lebih sering main mobile game, mengingat settingan PC yang dulu kurang mumpuni, dan hak milik konsol yang nggak jelas. Beberapa di antaranya yang saya mainkan antara lain:

King's Raid

Game RPG besutan developer Korea, Vespa. Formatnya side scrolling. Nggak hack & slash, tapi demanding banget buat playernya menyesuaikan timing skill dan party comp yang cocok. Termasuk game yang menurut saya META-nya saklek parah dan borderline rasis karena banyak fight yang menuntut kamu punya setup partu tertentu. KR ini termasuk game yang awet saya mainkan. Kurang lebih tiga tahunan. Sempat keluar duit yang ngga sedikit dan mencicip guild competitive juga. Tapi karena saya mulai muak sama kelakuan developernya yang nggak jelas, akhirnya saya hengkang dari game ini tahun lalu.

Dragon Raja

Salah satu mobile MMO yang saya demen. Battle-nya asik, customization-nya ciamik, dan graphicnya pun cantik. Sayangnya, untuk ukuran game yang menjadikan story sebagai main selling point-nya, Dragon Raja punya plot paling nggak jelas sepanjang sejarah saya main game, hahaha. Nggak cuma itu. Micro transaction-nya yang seabrek-abrek bikin saya malas mainin game ini karena inventory saya habis buat nyimpenin token gacha doang.

Lord of Heroes

Ini paling ngga awet. Kayaknya cuma dua tiga bulan main lalu cabut. Bosan karena turn battle bisa ditinggal auto lalu tidur. Pity, really karena ada FukuJun, hahahha.

Touken Ranbu

Lumayan lama juga saya main ini tapi lama-lama malas. Awal saya main sebenernya karena ya seperti orang lain yang main game ini: Pengen punya Jiji. Tapi ternyata hati berpindah dan saya malah ngidam pedang di bawah ini. Alhasil ya begitu dapet, malah pensi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Digitalisasi Tahi (pt. 1)

Belakangan ini, Indonesia lagi sering diguncang sama berita-berita tidak enak. Mulai dari pembunuhan yang menyeret perwira, kementerian tidak becus kerja (bukan hal baru), sampai dengan kebocoran data massal. Jujur, hal ini sebenernya bikin saya dan beberapa kawan mulai bikin rencana untuk meninggalkan negara ini. Kenapa? Simple . Kami nggak bisa lihat masa depan kami di sini. Negara ini kebanyakan gimmick , pongah, dan nggak terima kritik.  Sepertinya sudah jadi rahasia umum ya kalau boomer-boomer  pemangku kuasa negara ini obsesi sekali sama DIGITALISASI . Meaning, apa-apa harus bisa diurus online. Harus bisa diurus pakai aplikasi dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja sehingga masyarakat pun lebih mudah mengurus ini-itu. Jujur, ini sebuah visi yang mulia. Siapa sih yang nggak mau ngurus tetekbengek kependudukan dari gawainya masing-masing? Saya mah mau banget! Sayang, pelaksanaannya tidak seindah itu.

Bandung; Silaturahmi dan Penggemukan Diri Pt. 2

Nah, menyambung sama entry sebelumnya , saya mau lanjut cerita soal hari kedua saya di Bandung. Oknum-oknumnya masih sama dengan hari pertama, tapi kegiatannya jelas berbeda. Soalnya di hari kedua ini, kami sudah menentukan destinasi yang akan kami tuju dari sejak di Jakarta. Bahkan kami sampai rela bangun pagi-pagi sekali!

flirty tapi bodoh.

Belum lama ini di sisi lain twitter saya ada ramai kasus pelecehan . Kemudian yang jadi korbannya membuka space untuk angkat bicara. Dukungan dan kata-kata penyemangat pun mengalir deras buat gadis berusia 19 tahun ini. Semua pun di-retweet dan di-like satu persatu. Dipikir lagi, kalau boleh saya berpendapat dari yang biasa saya lihat, vibe kasus ini terasa lebih "ringan" dan "optimis" dibandingkan kasus-kasus lain serupa. Tidak ada nay-sayers, tidak ada pihak yang menyalahkan korban. Ngabers dengan penis kecil tidak terlihat sejauh mata memandang. Dystopian banget 'kan?