Langsung ke konten utama

Bandung; Silaturahmi dan Penggemukan Diri Pt. 1

Jujur nih, ya. Selama dua puluh something hidup, saya belum pernah bisa menikmati kota ini. Tiap kali ke sini, pasti akhirannya kalau nggak ngendog di rumah saudara saja nungguin bapak yang terlelap, ya buat kerja. Jadi ya nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak enjoy dan nggak tau mana-mana. Sedih 'kan? Pengetahuan saya soal Bandung cuma sebatas jalan Moh. Toha, Ciwalk, dan sekilas soal Paris von Java. Miris banget.

Tapi kemudian, terbersit ide buat merayakan ultah salah satu kawan saya di sana. Kebetulan dese juga habis sidang doktoral. Sebuah milestone yang luar biasa 'kan? Makanya setelah melalui berbagai perencanaan yang ngga bisa dibilang mulus (karena satu dua hal yang sebenarnya bodoh tapi ya sudahlah), akhirnya saya dan kawan saya satu lagi berangkat. Mengemban misi untuk mengisi perut dan menyerahkan kado. Saya naik kereta pagi, beliau naik kereta sore. Golnya sama; Ibukota Priangan, Bandung.

Sabtu, 16 Juli, saya tiba di Bandung. Masih pagi dan hujan lumayan deras. Dingin? Jelas. Tapi begitu bertemu dengan si gadis ultah, udah nggak berasa, tuh. Apalagi ketika beliau ini menyeret saya ke toko roti tempo dulu bernama "TOKO SUMBER HIDANGAN" di Braga. Saya seperti menemukan surga kecil. Bahagianya bukan main dan kekesalan, lelah, serta dingin yang saya rasakan, sontak hilang semua.

Roti-roti lezat "Sumber Hidangan" ft. Tsumine.


Tiap gigitan kue yang saya beli, saya selingi dengan kopi tubruk hitam panas yang pekat. Buat saya yang memang dari dulu suka sama roti dan kue-kue kuno, Toko Sumber Hidangan ini benar-benar highlight sarapan saya hari itu. Toko yang sudah berdiri sejak tahun 1929 ini konsisten menyajikan penganan-penganan jadul. Mulai dari roti banket, soes, katetong, sampai es krim. Resepnya pun konon tidak berubah. Masih dari sang Omma pemilik toko ini. Hebat ya? Soal rasa sih jangan ditanya. Harga? Apalagi. Saya pergi dari sana membawa 2 ons sosisbrood, 1 ons bitterballen, 3 potong kue soes, dan 1 bungkus roti tawar. 

Kekurangan dari toko ini cuma satu: tempatnya tersembunyi. Jadi kalau mau ke sana, harus rajin tanya sama orang sekitar. Selain itu, toko ini juga tutup di hari Minggu dan hari libur nasional. Jam buka-tutupnya pun konon suka-suka. Kalau mau aman, datanglah di pagi hari sekitar jam 10-an. Bawa uang tunai juga karena di sana tidak ada EDC ataupun QRis.

Spesial shoutout kembali saya berikan buat Tcuminem yang sudah susah payah survey ke sini di hari sebelumnya. Tanpa kamu, sarapan saya ngga akan seberkesan ini! 

Selesai sarapan di Sumber Hidangan, saya dan Tcu melanjutkan perjalanan mengelilingi Braga dan alun-alun. Beliau dengan sabar menemani saya yang belum pernah liat Bandung ini. Lelah sudah nggak saya pikirin. Pokoknya saya mau jalan, lihat-lihat, dan foto sama Tsumine saya. Kurang lebih dua jam lah kami keliling-keliling di sekitaran Braga. Setelah itu, adzan berkumandang dan saya mampir dulu buat sholat di Masjid Alun-alun yang banyak kucingnya, hehe. Oyen dan gembul-gembul! Selesai dari sini, kami berdua pun melanjutkan perjalanan. Kali ini ke daerag Dago untuk mengunjungi cafe kecil bernama One Eighty.

Dan di sini, saya bener-bener paham kenapa banyak orang melewatkan liburannya di Bandung. Di One Eighty ini, saya liat sendiri menu yang head to head sama bistro-bistro sekaliber Benedict dan Union, dihargai separuhnya. Iya, saya tahu saya norak. Tapi saya nggak terbiasa melihat pizza crust tipis dengan topping empat jenis keju, harganya cuma Rp62.000,- per DELAPAN potong. Saya terpesona, saya kagum, dan jujur saya kalap. Tcuminem pun cuma ketawa-tawa lihat saya kebingungan begitu.

Wild Mushroom Soup, Rp34.000,-
Quattro Formaggi (M), Rp62.000,-

Kurang lebih dua jam kami bersantai di cafe yang nyaman ini. Sebenarnya bisa saja kami bersantai di tempat duduk luar sambil merendam kaki di kolam keceh-nya. Cuma karena saya bawa baju terbatas, jadi saya urungkan niat saya. Daripada daripada ya 'kan? Begini saja senangnya sudah tidak karuan. Makanan enak jadi tambah enak kalau dimakannya sama teman yang cocok. 

Kenyang menjejali diri dengan segala macam karbo, kami pun beranjak ke tempat menginap kami. Sebuah kaamar apartemen Airbnb di daerah Cihampelas. Kamarnya sendiri sih cozy, estetik, dan amenities-nya pun lengkap. Sayangnya, akses dan lingkungannya agak kurang. Yaaaa, mengingat ini juga karena ada perubahan rencana yang last minute, ya diterima-terima saja (tapi saya sendiri sudah nawaitu untuk nginep di Braga kelak! LIHAT SAJAAAAAA).

Berdua saya dan Tcuminem pun melepas lelah sejenak di kamar sambil menunggu kawan saya satu lagi (sebut saja Ella), datang dari Jakarta. Kurang lebih 2 jam lah sampai Ella bilang dia sudah sampai stasiun dan kami pun jalan ke Ciwalk. Tergopoh-gopoh karena gelap dan sudah mulai lelah. Namun, begitu sampai di tempatnya, capeknya pun sirna lagi. Apalagi ketika kami makan malam di Justus. Iya memang makan terus. Tapi nggak nyesel. Sumpah. Pasta seenak ini aja masa cuma 50rban? Nggak masuk akal.


Oh ya, di Ciwalk juga pet friendly, loh! Karena saya ketemu sama seorang oom-oom yang membawa Golden Retriever-nya. Betina, manis sekali! Saya diizinkan untuk mengelus dan main sebentar. Usut punya usut, namanya Cecil dan umurnya sudah 13 tahun! Tua yaaaa... Katanya sih sudah ikut si Oom ini sejak umur dua bulan. Benar-benar partner sehidup semati. Saya pun sempat "diserang" sama corgi hyper yang kepingin main. Kebahagiaan saya lengkap sudah.

Bohong. Belum ding.

Soalnya kebahagiaan saya makin lengkap ketika di kamar, Tcuminem mentraktir saya wedang ronde paling enak yang pernah saya makan. Legit, manis, pedas, dan hangat. Jujur, habis makan ronde ini, saya nggak ingat banyak apa yang saya lakukan. Katanya Ella sih saya nonton tiktok lalu ilang. Pulas ditelan kasur.

Masuk akal sih. Karena tahu-tahu sudah subuh saja dan jadwal hari kedua siap dieksekusi.

Tapi itu untuk entry berikutnya.


Places I've mentioned:

  • Toko Sumber Hidangan: Jl. Braga No.20-22, Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, 40111 (Buka Senin- Sabtu dari 09:30 s/d 15:30 WIB. Minggu dan Hari Libur Nasional tutup. HANYA menerima cash)
  • One Eighty Coffee and Music: Jl. Ganesa No.3, Lb. Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, 40132 (Buka Senin- Minggu dari 08:00 s/d 22:00 WIB. Bisa cashless)
  • Salawasna Hoream Cave: The Jarrdin Apartemen Cihampelas Tower A 1834, Cipaganti, Coblong, Bandung City, West Java, 40131


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Digitalisasi Tahi (pt. 1)

Belakangan ini, Indonesia lagi sering diguncang sama berita-berita tidak enak. Mulai dari pembunuhan yang menyeret perwira, kementerian tidak becus kerja (bukan hal baru), sampai dengan kebocoran data massal. Jujur, hal ini sebenernya bikin saya dan beberapa kawan mulai bikin rencana untuk meninggalkan negara ini. Kenapa? Simple . Kami nggak bisa lihat masa depan kami di sini. Negara ini kebanyakan gimmick , pongah, dan nggak terima kritik.  Sepertinya sudah jadi rahasia umum ya kalau boomer-boomer  pemangku kuasa negara ini obsesi sekali sama DIGITALISASI . Meaning, apa-apa harus bisa diurus online. Harus bisa diurus pakai aplikasi dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja sehingga masyarakat pun lebih mudah mengurus ini-itu. Jujur, ini sebuah visi yang mulia. Siapa sih yang nggak mau ngurus tetekbengek kependudukan dari gawainya masing-masing? Saya mah mau banget! Sayang, pelaksanaannya tidak seindah itu.

Bandung; Silaturahmi dan Penggemukan Diri Pt. 2

Nah, menyambung sama entry sebelumnya , saya mau lanjut cerita soal hari kedua saya di Bandung. Oknum-oknumnya masih sama dengan hari pertama, tapi kegiatannya jelas berbeda. Soalnya di hari kedua ini, kami sudah menentukan destinasi yang akan kami tuju dari sejak di Jakarta. Bahkan kami sampai rela bangun pagi-pagi sekali!

flirty tapi bodoh.

Belum lama ini di sisi lain twitter saya ada ramai kasus pelecehan . Kemudian yang jadi korbannya membuka space untuk angkat bicara. Dukungan dan kata-kata penyemangat pun mengalir deras buat gadis berusia 19 tahun ini. Semua pun di-retweet dan di-like satu persatu. Dipikir lagi, kalau boleh saya berpendapat dari yang biasa saya lihat, vibe kasus ini terasa lebih "ringan" dan "optimis" dibandingkan kasus-kasus lain serupa. Tidak ada nay-sayers, tidak ada pihak yang menyalahkan korban. Ngabers dengan penis kecil tidak terlihat sejauh mata memandang. Dystopian banget 'kan?