Langsung ke konten utama

Nasehat

Nggak kehitung sudah berapa banyak blog yang kubikin tapi akhirannya terbengkalai. Mungkin yang ini akan jadi berbeda, who knows? Tapi aku berani jamin, aku nggak punya commitment issue, kok. Cuma bosenan dan suka lupa password. Benar-benar itu saja masalahku.

Nah, untuk mengesahkan blog ini, aku mau cerita sedikit soal pengalaman atau lebih tepatnya trauma yang baru berhasil kuhadapi belakangan ini. Aku bahkan nggak tahu kalau ini ternyata lumayan jadi beban buatku sampai akhirnya aku ngobrol sama teman-teman yang kurang lebih like-minded sama aku sekarang.

Supaya lebih paham konteksnya, mari kita sama-sama simak pertanyaan pilihan ganda di bawah:

Kalau kamu seorang cewek, usia late teens dan kamu punya crush (atau bahkan udah jadian) tapi lalu ibumu sendiri bilang cowok yang kamu sukai itu "pembohong", apa yang bakal kamu lakukan? Will it

a) kamu dengerin dan perlahan mulai mencari tanda sama menjauhkan diri or..

b) kamu bodo amat dan tetap sama crush-mu?

Kalau kamu pilih A, wah congrats! Kamu baru saja terhindar dari jackpot nggak enak. Aku sendiri pilih B, hehe. Makanya kemudian mulai banyak kejadian yang saat itu rasanya normal tapi ketika dipikir sekarang jadi masuk akal kenapa kemudian aku semudah itu memutuskan hubungan dan memberlakukan unlimited block works (iya, maaf aku wibu).

Dimulai dengan takdir yang membuat aku dan dirinya (cielah, uhuy!) harus menjalani hubungan pisah kode area. LDR lah istilah kerennya. Awalnya berjalan normal seperti biasa. Komunikasi jalan, chatting lancar, SMS pun demikian. Tapi kemudian rasa nggak nyaman mulai muncul di aku ketika aku telpon dia dan alih-alih engaging aku, dia malah kesannya sibuk sendiri. Okay, cool. Dia bilangnya ingin ditemani main PS (atau nonton bola gitu entah otakku nggak seencer itu). Tapi masalahnya, aku gak dibesarkan seperti itu. My mom taught me to be attentive to whoever is talking on the phone. Jujur, aku merasa lebih baik dia langsung bilang, "hey telponnya lain kali bisa kan? Aku lagi seru nih!" 

Seriusan aku nggak akan marah dibegitukan. Daripada harus mempertahankan percakapan searah 'kan?

Kuakui, aku agak marah sama dia di sini dan hubungan kami mulai menunjukkan tanda-tanda bakal renggang karena ya.... aku capek. Simple. Aku pun sempat curhat sama teman-teman perempuan di kampus dan mereka semua kurang lebih tanggapannya sama,

"Cowok biasa kali begitu. Lu aja yang ngga mau ngertiin."

Hmm, gitu ya. Jadi memang sudah ada ekspektasi buat perempuan membina percakapan satu arah di telepon buat pasangannya. So I guess my mom and dad is an anomaly. Karena mereka sangat atentif kalau ada orang telepon mereka.

Kukubur masalah ini dan nggak kubahas-bahas lagi, Mana ada juga yang suka sih dikatain egois? 

Puncaknya ketika aku lagi di rumah dan malam hari. Mendadak, laki-laki ini nelpon aku. Dia bilang dia kena tilang dan dia butuh bantuanku. Teleponnya bahkan sempat pindah tangan dan aku harus bicara sama seorang bapak-bapak di ujung sana yang katanya seorang polisi lalin. Singkatnya, aku harus bail out dia. 

Aku. Mahasiswi yang bahkan belum punya motor sendiri dan KTP-nya masih diproses karena ada masalah data.

Panik? Ya, jelas. Dan aku nggak mungkin ngomong juga ke ibuku karena kondisinya aku pacaran sama dia itu backstreet. Ibuku cuma pernah sekali ketemu dia; ketika aku mengadakan sesi belajar bersama sama teman-teman terdekatku di bimbel. Di situ ibuku bilang, "yang cowok kok keliatannya kayak tukang bohong."

Kepanikanku ini membuatku lash out dan memblokir semua kontaknya saat itu juga. Setelah itu, aku masuk ke kamar ibuku buat buka kartu selebar-lebarnya. Nangis? Kejer. Dimarahin? Nggak. Ibuku sudah merasa kejadian malam itu cukup buat jadi hukuman dan pelajaran buatku. Dan beliau benar. Karena sampai sekarang aku masih mempertanyakan diriku dan "keegoisanku".

Setidaknya sampai kemarin aku akhirnya memberanikan diri cerita soal ini ke kawan-kawanku. Mereka kaget. Mereka semua marah. Tapi bukan ke aku. Melainkan ke teman-temanku dulu yang permisif dan membuatku mempertanyakan prinsipku. Aku lega dan beneran aku nangis malam-malam baca kalimat-kalimat merea yang encouraging sekali. 

Selama ini... aku nggak salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Digitalisasi Tahi (pt. 1)

Belakangan ini, Indonesia lagi sering diguncang sama berita-berita tidak enak. Mulai dari pembunuhan yang menyeret perwira, kementerian tidak becus kerja (bukan hal baru), sampai dengan kebocoran data massal. Jujur, hal ini sebenernya bikin saya dan beberapa kawan mulai bikin rencana untuk meninggalkan negara ini. Kenapa? Simple . Kami nggak bisa lihat masa depan kami di sini. Negara ini kebanyakan gimmick , pongah, dan nggak terima kritik.  Sepertinya sudah jadi rahasia umum ya kalau boomer-boomer  pemangku kuasa negara ini obsesi sekali sama DIGITALISASI . Meaning, apa-apa harus bisa diurus online. Harus bisa diurus pakai aplikasi dari mana saja, kapan saja, dan siapa saja sehingga masyarakat pun lebih mudah mengurus ini-itu. Jujur, ini sebuah visi yang mulia. Siapa sih yang nggak mau ngurus tetekbengek kependudukan dari gawainya masing-masing? Saya mah mau banget! Sayang, pelaksanaannya tidak seindah itu.

Bandung; Silaturahmi dan Penggemukan Diri Pt. 2

Nah, menyambung sama entry sebelumnya , saya mau lanjut cerita soal hari kedua saya di Bandung. Oknum-oknumnya masih sama dengan hari pertama, tapi kegiatannya jelas berbeda. Soalnya di hari kedua ini, kami sudah menentukan destinasi yang akan kami tuju dari sejak di Jakarta. Bahkan kami sampai rela bangun pagi-pagi sekali!

flirty tapi bodoh.

Belum lama ini di sisi lain twitter saya ada ramai kasus pelecehan . Kemudian yang jadi korbannya membuka space untuk angkat bicara. Dukungan dan kata-kata penyemangat pun mengalir deras buat gadis berusia 19 tahun ini. Semua pun di-retweet dan di-like satu persatu. Dipikir lagi, kalau boleh saya berpendapat dari yang biasa saya lihat, vibe kasus ini terasa lebih "ringan" dan "optimis" dibandingkan kasus-kasus lain serupa. Tidak ada nay-sayers, tidak ada pihak yang menyalahkan korban. Ngabers dengan penis kecil tidak terlihat sejauh mata memandang. Dystopian banget 'kan?