Belum lama ini di sisi lain twitter saya ada ramai kasus pelecehan. Kemudian yang jadi korbannya membuka space untuk angkat bicara. Dukungan dan kata-kata penyemangat pun mengalir deras buat gadis berusia 19 tahun ini. Semua pun di-retweet dan di-like satu persatu. Dipikir lagi, kalau boleh saya berpendapat dari yang biasa saya lihat, vibe kasus ini terasa lebih "ringan" dan "optimis" dibandingkan kasus-kasus lain serupa. Tidak ada nay-sayers, tidak ada pihak yang menyalahkan korban. Ngabers dengan penis kecil tidak terlihat sejauh mata memandang.
Dystopian banget 'kan?
Memang. Soalnya kasusnya sendiri diada-adain sama si "korban"-nya. Alias, bohong.
Kasus yang sebenarnya terjadi adalah dua orang yang saling flirting lewat DM twitter. Keduanya pihak yang sudah legal dan bisa memberikan consent. Flirtingnya pun berjalan dua arah. Si gadis flirting, si cowok flirting balik. Ketikannya pun tidak yang gimana-mana. Masih SFW. Tidak ada genitalia ataupun degrading comments.
Allegedly si gadis sebenarnya merasa tidak nyaman ketika si cowok mulai flirting dengannya. Permasalahannya, si cewek adalah pihak yang ngebait dan menanggapi tiap gombalan dengan gombalan. Like I said, it goes both ways.
Si cewek kemudian mulai bikin sub tweet yang not so subtly ngehint ke arah si cowok. Orang-orang pun cepat nangkep siapa yang dimaksud (termasuk si cowoknya). Netijen sebagai kaum yang reaktif pun langsung ramai-ramai "ngerujak" cowok ini. Biasalah. The usual drill.
Tapi mendadak, ada plot twist nih; ketika si cowok merilis full screenshots DM mereka. Membeberkan segala bukti yang tidak diberikan oleh si cewek. Ketahuan lah kalau si cewek cuma mengada-ngada (dari sini saya jadi tahu isi ketikannya, seperti yang saya mention sebelumnya). Netijen yang tadinya berpihak ke si cewek, langsung balik kanan dan menyerang si cewek.
Saya? Saya termasuk yang tahu kasus ini dari tret si cowok dan langsung full on memaki cewek ini karena sebuah alasan personal; saya adalah penyintas.
Saya adalah penyintas pelecehan anak di bawah umur. Dan saya tahu rasanya ngga dapat closure karena pihak yang seharusnya melindungi saya ngga bisa berbuat apa-apa. Saya tahu rasanya disalahin karena "main terlalu jauh". Saya tahu seperti apa dilecehkan dan nggak didengar.
Jadi ngeliat seorang cewek yang sok sok flirty kemudian ngaku-ngaku dilecehkan, itu bikin saya muntap. Jujur. Karena selain saya, masih ada banyak penyintas yang suaranya nggak didengar, yang dimaki, yang disalahkan, dan dipojokkan. Lalu ini ada cewek kemarin sore, yang menghimpun massa, dengan kebohongannya. Membuat publik yang sudah skeptis jadi semakin skeptis. Saya menolak dibilang victim blaming ke orang ini karena dia bukan korban. Dia cuma cewek caper sok flirty yang ngga bisa bertanggung jawab atas tindakannya.
Komentar
Posting Komentar